Sang Jenderal Besar ini dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1916 di Bodas Karangjati Purbalingga dari pasangan Karsid Kartowirodji yang merupakan seorang pekerja di Pabrik Gula Kalibagor, dan Siyem istrinya yang merupakan keturunan Wedana Rembang. Sejak usia 8 bulan Soedirman kecil diangkat anak oleh R. Tjokrosoenaryo, yang masih merupakan saudara Siyem.
Pada tahun 1923-1930 beliau menerima pendidikan dasar di sekolah HIS di Cilacap, kemudian dilanjutkan ke sekolah MULO Taman Siswa, dan setahun kemudian pindah ke Perguruan Parama Wiworotomo dan pada Tahun 1935, melanjutkan pendidikan ke sekolah HIK (sekolah Guru) Muhammadiyah di Solo meskipun tidak sampai tamat. Setelah itu beliau diangkat sebagai Kepala SD Mohammadiyah di Cilacap. Beliau dikenal sebagai Kepala Sekolah yang terbuka, dan bijaksana, serta selalu memberikan jalan keluar disetiap masalah yang timbul di kalangan guru. Selain sebagai guru dan Kepala Sekolah Soedirman juga aktif dalam kegiatan Hizbul Wathan, sebuah organisasi kepanduan seperti Pramuka pada zaman sekarang.
Sejak muda Soedirman memang seorang yang berkepribadian teguh dan memegang kuat prinsip dan keyakinannya. Pernah suatu kali dalam sebuah kegiatan Perkemahan Hisbul Wathon di pegunungan Dieng, karena malam yang begitu dingin sampai menusuk tulang, banyak dari rekan beliau meninggalkan perkemahan, namun tidak dengan Soedirman, karena dia sebagai pemimpin kepanduan, maka beliaupun bertahan pada malam itu sampai esok paginya
Karir Militer
Karir militernya dimulai saat Jepang masuk ke
Jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan
Pada tanggal 26 November 1945 saat menunggu masa pelantikannya sebagai Panglima, beliau menghadapi serbuan tentara Inggris yang diboncengi Belanda dari
Baru pada tanggal 15 Desember 1945, pasukan
Minggu, 20 Oktober 1946, bersama Kepala Staf APRI, dari Yogya beliau bertolak ke Jakarta menggunakan kereta api luar biasa (KLB), untuk melakukan perundingan gencatan senjata. Namun saat di Stasiun Klender, Kereta tersebut dihentikan oleh tentara Belanda. Mereka meminta para pengawal Jenderal Sudirman tidak membawa senjata, kalau ingin memasuki
“Aturan apa itu, pengawal panglima dilarang membawa senjata!”
“Tidak! Tidak bisa begitu! Ini pelanggaran kepada kehormatan panglima tentara negara yang berdaulat! Kita kembali ke Yogya saja!”
Insiden tersebut langsung dikoreksi oleh pemerintah belanda melalui
Perundingan itulah yang dikenal dengan perundingan Linggajati. Meskipun isinya sangatlah merugikan
Bulan Juli 1947. Belanda mengingkari perjanjian Linggajati, Agresi Militer I pun dilancarkan,Setelah merebut beberapa ibukota karesidenan di pantai utara Jawa, mereka minta gencatan senjata lagi. Persetujuan Renville pun digelar di atas kapal perang Amerika Serikat yang berlabuh di Tanjungpriok tanggal 2 Desember 1947.
Lagi - lagi Republik
Belanda mengingkari lagi perjanjian Renville. Agresi Militer II pun dilancarkan di Jogja tanggal 18 September 1948. Namun Pahlawan kita Jenderal Soedirman yang saat itu di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah karena paru-parunya hanya tinggal satu yang berfungsi. Namun hal itu tidak membuat langkahnya surut. Meskipun Yogyakarta sudah dikuasai belanda dan meskipun Presiden Soekarno sebelum ditawan Belanda sudah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk menjalani perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.
Percobaan Pembunuhan
Jenderal besar kita ini langsung bertolak ke
Bersama Komandan Divisi I Jawa Timur, Kolonel Soengkono, ia membicarakan situasi militer dan rencana pertahanan melawan serbuan Belanda dengan perang gerilya. Pada Desember 1948, Soedirman meninggalkan Kota Kediri. Beberapa jam kemudian, kota ini diserang dan diduduki tentara Belanda. Sepertinya mata - mata Belanda mengetahui Jenderal Soedirman berada di Kediri. Tetapi ketika tentara Belanda dikerahkan masuk kota, Jenderal itu sudah berada di lereng Gunung Wilis.”
Usaha menghabisi Panglima juga terjadi desa Karangnongko (10 km barat Kota Kediri). Ketika rombongan sedang beristirahat di desa itu, datanglah seseorang tak dikenal mencari Jenderal Soedirman. Karena curiga, Soedirman dan Kolonel Bambang Soepeno meninggalkan rumah penginapan pada pukul 05.00, dan masuk ke dalam hutan dengan berjalan kaki.
Setelah fajar menyingsing, Letnan Heru Keser, pengawal yang masih tinggal di rumah penginapan, Menyamar menjadi Soedirman. Kemudian dengan disaksikan orang banyak, Soedirman “gadungan” ini ditandu ke luar rumah menuju Selatan, dan berhenti di sebuah rumah untuk menginap. Kemudian dengan diam-diam Letnan Heru Keser, sudah berganti pakaian, meninggalkan rumah itu bersama Kapten Soepardjo. Sorenya, rumah itu diserang habis-habisan oleh tiga pesawat pemburu Belanda yang memuntahkan peluru senapan mesinnya secara bergantian.
Sudah berkali - kali percobaan pembunuhan dilakukan kepada Jenderal besar kita yang satu ini. Namun Tuhan masih mentakdirkannya untuk hidup dan terus melawan Belanda. Tanggal 31 Maret 1949, rombongan Panglima tiba di Dukuh Sobo. Karena daerah itu jarang dikenal maka daerah itu menjadi tempat yang paling ideal untuk memimpin perang gerilya.
Hari Terakhir
Setelah ditandatanginya perjanjian Roem-Royen. Maka usai sudah perang antara Republik Indonesia dan Belanda. Panglima Sudirman memasuki kota Yogya lagi dari desa Ponjong tanggal 9 Juli 1949, setelah berfoto bersama dengan pembawa tandu terakhir yang dipakai menyeberangi Kali Opak dekat Piyungan.
Tanggal 27 Desember 1949, pemerintah Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia. Sayang, Jenderal Soedirman tidak dapat menyaksikan hasil perjuangannya lebih lanjut. TBC yang semakin menggerogoti paru-parunya selama berbulan-bulan masuk keluar hutan akhirnya mengalahkan dia. Pada 29 Januari 1950 ia meninggal dunia di Rumah Peristirahatan Tentara Badakan, Magelang. Pahlawan Kemerdekaan Nasional ini dimakamkan di Taman Makam PahlawanSemaki, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar